Pemerintah Indonesia kembali menjalankan program Food Estate sebagai respon terhadap peringatan dini dari Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai kemungkinan buruk dampak pandemi Covid-19 terhadap ketahanan pangan.

Food estate adalah usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu Kawasan Hutan (Permen LHK P.24, 2020).

Sejarah dan Nasib Food Estate Terdahulu

  • 1995: Pertama kali dilaksanakan di Kalimantan Tengah dengan tanah seluas 1.457.100 hektar lahan gambut → hanya berhasil dibuka 31.000 hektar yang ditempati oleh 13.000 keluarga transmigran, 17.000 hektar dibuka tanpa ditempati sama sekali, dan 1.409.150 tidak digunakan.
  • 2012: Dibangun di Bulungan, Kalimantan Utara, dengan tanah seluas 298.221 hektar → hanya berhasil dibuka 1.024 hektar dan hanya 5 hektar yang kemudian ditanami.
  • 2013: Dibangun di Ketapang, Kalimantan Barat tercatat dengan lahan potensi seluas 886.959 hektar walau Pemerintah Daerah Ketapang hanya sanggup menargetkan penyediaan lahan seluas 100.000 hektar → hanya sanggup menanam 104 hektar dari 100.000 hektar yang disediakan.

Menurut pakar bioremediasi dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas, kegagalan program food estate terdahulu disebabkan oleh kaidah akademis (kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, serta kelayakan sosial dan ekonomi) yang diingkari.

Privilese Food Estate

Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), pengusungan proyek food estate mendapatkan banyak kemudahan:

1. Dibebaskan dari tahap penataan batas kawasan hutan

Pada RPJMN 2020-2024, dinyatakan bahwa hutan primer dan hutan di lahan gambut adalah area yang harus dijaga. Namun, lumbung pangan ini justru dibangun di hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi Peta Penghentian Pemberian Izin Baru.

2. Memperoleh berbagai kelonggaran sebagai PSN

Pengadaan tanah akan sangat mudah untuk penggarapan Food Estate, sebab dalam pelaksanaan PSN, UU Cipta Kerja memandatkan menteri/kepala lembaga, gubernur dan bupati/walikota untuk memberikan Perizinan dan Nonperizinan  yang dibutuhkan. Hal ini pun berlaku pula pada tanah-tanah yang dimiliki atau dibudidayakan oleh masyarakat adat dan lokal.

3.Dapat digarap di kawasan hutan yang masih bertutupan hutan alam

Proyek food estate juga dapat diberlakukan di kawasan hutan dengan status hutan produksi (hutan produksi adalah kawasan hutan yang hasilnya bisa dipakai atau diambil, baik dalam bentuk kayu maupun non-kayu) dan hutan lindung (hutan lindung adalah kawasan yang digunakan untuk melindungi kekayaan hayati yang ada di dalamnya). Secara umum, persetujuan pelepasan hutan produksi yang bisa dikonversi biasanya ditetapkan di hutan tidak produktif. Proyek food estate (mengecualikan kawasan yang dicadangkan) berada di provinsi yang tidak memiliki hutan sejenis ini. Selain itu, jika suatu kawasan hutan masih bertutupan hutan alam, pemanfaatan kayu pada kawasan tersebut diperbolehkan. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu adanya deforestasi.

Kerusakan Lingkungan dan Pengambilalihan Wilayah Lahan Adat

Menurut sebuah organisasi nirlaba Madani Berkelanjutan, ditemukan bahwa luasan hutan alam yang berpotensi terancam oleh proyek food estate diperkirakan setara dengan 3 kali luas Pulau Bali. Dampak lingkungan yang dapat terjadi disebabkan oleh penggundulan hutan adalah berkurangnya ketersediaan air, mengganggu kesuburan tanah, kekeringan, mendorong laju perubahan iklim, serta bencana ekologis.

 

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2020/09/21/kalimantan-tengah-banjir-indikasi-rusaknya-hutan-di-kawasan-hulu/

Gambar di atas menunjukkan tatkala empat desa yang hutannya dibuka untuk proyek food estate dilanda kebanjiran di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sebab, hutan yang menjadi tempat penampungan air sekaligus hulu Sungai Tambun dan Tambi itu sudah digusur.

Di sisi lain, proyek food estate yang telah dilakukan pemerintah juga mengambil alih lahan masyarakat adat. “Kami sudah tinggal di sini 300 tahun,”  ucap Josua Lumban Batu, seorang tokoh adat Humbang Hasundutan. Tempat tinggalnya yang kini diklaim sebagai kawasan food estate itu–tanah adat di Desa Ria-Ria–telah mendapat pengakuan sebagai tanah adat pada tahun 1979 melalui Keputusan Bupati Tapanuli Utara Nomor 138/Kpts/1979.

Namun, tanpa sepengetahuan masyarakat di Desa Ria-Ria, dipasangilah patok-patok di pekarangan, di belakang rumah, dan di kebun yang diolah penduduk untuk area food estate pada pertengahan Desember 2020. Pemerintah beralasan bahwa area ini adalah lahan terlantar dan merupakan wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Padahal, menurut analisis citra satelit, Desa Ria-Ria bukanlah lahan konsesi PT TPL. 

Begitu pula yang terjadi di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Masyarakat di Desa Bentuk Jaya baru mengetahui daerah mereka akan dijadikan kawasan food estate setelah kunjungan Presiden ke Desa Bentuk Jaya pada tanggal 9 Juli 2020. Tokoh penting perangkat masyarakat seperti Kepala Desa bahkan tidak mengetahui sebelumnya daerah mana yang akan masuk dalam lokasi proyek serta sejauh mana masyarakat akan dilibatkan.

Ketahanan Pangan Untuk Siapa?

Kondisi ketahanan pangan dapat dinilai melalui tiga subsistem: ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketiga subsistem ini haruslah berjalan secara berkesinambungan dan seimbang. Mengusung proyek food estate, pemerintah berproyeksi dapat memenuhi subsistem ketersediaan pangan. Bagaimana dengan subsistem keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan?

Menurut Bank Dunia, mahalnya harga pangan mencakup biaya pengolahan serta pengangkutannya menjadi salah satu permasalahan keluarga miskin di Indonesia–hal ini artinya keterjangkauan dan pemanfaatan pangan masih kurang. Selain itu, masyarakat miskin di Indonesia juga masih sulit dalam memperoleh makanan yang bergizi seperti sayuran dan buah-buahan. Belum teratasinya tiga beban malnutrisi yang masih tinggi di Indonesia (gizi lebih, gizi kurang, dan defisiensi zat gizi mikro) turut membuktikan persoalan tersebut.

Masalah pangan adalah masalah struktural. Seorang ekonom dan direktur Center Of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengatakan, “Masalah struktural itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembukaan lahan secara besar-besaran.” Dengan tingginya harga pangan dan tidak ada solusi terkait aksesibilitas secara ekonomi, tidak ada jaminan inisiasi pemerintah berupa proyek food estate dapat meraih kondisi ketahanan pangan.

Para ahli juga menyebutkan bahwa pelaksanaan food estate abai terhadap permasalahan mendasar, yaitu tingginya laju perubahan lahan pertanian menjadi non-pertanian akibat politik pangan pemerintah yang tidak berpihak pada petani kecil. Fenomena ini marak terjadi karena petani terdesak oleh urbanisasi. Dengan menjual lahan pertanian di pinggiran kota, petani akan memperoleh keuntungan lebih banyak daripada mempertahankan lahan pertanian tersebut. 

Selain itu, tidak ada garansi bahwa proyek food estate ini akan memprioritaskan akses lahan pertanian bagi petani kecil. Proyek  food estate hanya akan menguntungkan korporasi pertanian skala besar, baik BUMN maupun swasta, seperti yang disampaikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan pada 19 November 2020.

Dalih pemerintah dalam menangani potensi krisis pangan yang disebabkan oleh Covid-19 dan pelaksanaan food estate yang dipercepat segala prosesnya mengundang banyak presumsi. Jika ditelusuri dari sejarah, pelaksanaan proyek food estate yang berbasis spekulasi belaka dan tidak memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seharusnya dapat dijadikan pelajaran bagi pemerintah kini. Sebab, proyek terdahulu bukannya membawa Indonesia menuju ketahanan pangan, melainkan berujung malapetaka bagi rakyat Indonesia. 

Proyek food estate yang diusung tahun 2020 ini seakan-akan mendapatkan akses “jalan tol” ketika berurusan dengan aspek hukum. Kajian mendalam yang dirasa perlu supaya tidak mengulang kesalahan yang sama dilewatkan begitu saja. Oleh karena itu, pantas bila ditanyakan, apa agenda sesungguhnya pengadaan proyek “ketahanan pangan” ini?

Referensi

https://nasional.tempo.co/read/1497381/food-estate-program-ketahanan-pangan-yang-sukses-di-masa-pandemi

https://madaniberkelanjutan.id/2021/02/25/dampak-food-estate-terhadap-hutan-alam-dan-lahan-gambut

https://majalah.tempo.co/read/kolom/164290/mengapa-proyek-food-estate-gagal

https://www.instagram.com/p/CLWvBoqAUxB/

https://www.instagram.com/p/CLlVhjAgOFL/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211122103123-20-724270/greenpeace-proyek-food-estate-700-hektare-di-kalteng-picu-banjir

https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/164453/bagaimana-food-estate-menyerobot-lahan-adat

https://icel.or.id/wp-content/uploads/ICEL_Seri-Analisis-Food-Estate-Rev.2.opt_.pdf

https://wri-indonesia.org/id/blog/3-alasan-food-estate-belum-menjawab-agenda-ketahanan-pangan-dan-gizi

https://geckoproject.id/kroni-prabowo-kepung-proyek-lumbung-pangan-ancam-lingkungan-dan-habitat-orangutan-b135936df35d

https://majalah.tempo.co/read/investigasi/164316/prabowo-subianto-dan-moeldoko-di-balik-proyek-food-estate

Categories: Uncategorized

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *