karya Nisa Ariseno AE’18

Hari ini aku hancur. Seperti tembok bata yang roboh dihantam martil, aku hancur berkeping-keping diselimuti debu kegagalanku sendiri.

Aku akan selalu mengingat hari ini sebagai hari dimana aku menjelma menjadi mayat. Tubuhku yang semakin membusuk ditinggal pergi oleh jiwaku yang sudah melayang-layang kehilangan arah, mencari setitik kewarasan yang sudah menjadi harta karun paling langka di dunia ini. Tubuhku bukan lagi milikku, dan pikiranku berubah menjadi genangan lumpur yang tiada harganya.

Aku hilang. Aku tenggelam. Aku hancur.

Selagi Kunto Aji mencoba untuk meyakinkanku bahwa ini semua bukan salahku dan bara api dari sebatang rokok menerangi kegelapan jam 3 pagi di Kota Bandung, aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa kewarasanku. Tanganku bergetar mencoba untuk mengurai simpul yang ada di pikiranku dan menuangkannya kedalam tulisan ini, yang dibasahi oleh lelehan air mata dan jejak merah darah dari nadi yang sudah terkoyak. Aku berkata pada diriku sendiri, “aku kalah”.

Inilah catatanku, catatan seorang mayat korban dari kejamnya perlakuan manusia terhadap sesama.

Namun kalian tau sesuatu yang lucu? Sang malaikat maut yang merampas kebahagiaan hidupku justru adalah seorang ksatria berbaju zirah di mata orang hidup, yang berdiri dengan tamengnya yang mengilap sembari melambai-lambaikan janji kemenangan yang akan ia raih karena usahanya untuk memperjuangkan hak orang hidup, sedangkan makamku sedang ia injak-injak tanpa hormat. Lucu sekali lenong yang sedang berlangsung tepat diatasku ini.

Saat ini, aku mengais-ngais gundukan tanah yang menimbun mayatku, yang tampaknya terlihat seperti usaha yang sia-sia, mengingat seberapa mulia-nya Sang Ksatria. Namun diantara orang-orang hidup, terdapat burung-burung merpati yang senantiasa bertengger diatas batu nisanku, yang mendengarkan dengan seksama bisikan tolongku. Dan burung-burung tersebut menyanyi dengan indahnya, menceritakan kembali kisah-kisah yang tak bisa diutarakan oleh jasadku.

Hanya inilah satu-satunya harapan yang aku miliki sekarang sehingga mayatku bisa terbaring dengan tenang: melihat merpati-merpati tersebut bernyanyi yang kemudian lagu itu diteruskan oleh semilir angin hingga mencapai ufuk timur peradaban, hingga lagu-lagu tersebut mencekik Sang Ksatria sehingga ia sadar bahwa dibalik gemerlap baju zirahnya ia adalah malaikat maut yang sedang bersandiwara. Dan harapan akhirnya aku bisa bangkit kembali menjadi manusia seutuhnya, dengan segala hiasan luka yang senantiasa menjadi pengingat bagi diriku dan orang-orang disekitar.

-N.A

Categories: Umum

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *