Bandung, 13 November 2022—Kabar gembira datang dari Elshanti Nabiihah Salma (Kewirausahaan ’22), Wanda Ayu Puspita Ningratri (Kimia ’19), Fathya Alya (Kimia ’19), dan Difa Ayatullah (Fisika ’19) yang telah memenangkan kompetisi Falling Walls Lab Indonesia 2022. Secara singkat, kompetisi pitching Falling Walls Lab merupakan kompetisi skala internasional yang diikuti oleh berbagai mahasiswa dari berbagai negara dan disiplin ilmu untuk mempresentasikan breakthrough ideas (https://www.royalsociety.org.nz/what-we-do/funds-and-opportunities/falling-walls-lab/about-falling-walls-lab-berlin/). Dalam hal ini, keempat mahasiswi tersebut telah memenangkan kompetisi khusus regional Indonesia, dan selanjutnya menjadi perwakilan Indonesia di kompetisi Global Final Falling Walls Lab di Jerman pada 7-9 November lalu. Tim Kedirjenan Lomba, Karya, dan Kemitraan KM ITB pun mewawancarai keempat mahasiswi untuk mendengar kisah di balik kabar gembira tersebut.
Visi dan misi Pertiwi—nama tim sekaligus produk yang dikembangkan oleh keempat mahasiswi tersebut—berfokus kepada pengembangan produk pembalut ramah lingkungan. Dengan mengikuti kompetisi ini, Shanti menambahkan, pengembangan produk pembalut tersebut dapat diberi dukungan berupa baik pendanaan maupun dalam bentuk dukungan lain, seperti feedbacks, relasi, dan juga pengalaman yang didapatkan.
PEMBALUT “PERTIWI”

Pertiwi merupakan produk pembalut wanita yang mengusung konsep biodegradable yang diterapkan pada absorbent layer (bagian penyerap) dan lapisan waterproof. Pertiwi merupakan buah solusi dari akar permasalahan mengenai jumlah sampah pembalut wanita yang sangat banyak. “… Bahkan setiap harinya itu pasti lebih dari satu (jumlah pembalut yang dipakai per wanita), dan kalau kita hitung-hitung, dalam satu hari sekitar 9500 ton limbahnya,” kata Wanda saat wawancara berlangsung. Berangkat dari permasalahan tersebut, tim Pertiwi ingin menciptakan pembalut berbahan ramah lingkungan yang berasal dari salah satu tumbuhan yang banyak tumbuh di Indonesia. Tumbuhan tersebut dipakai sebagai bahan absorbent. “Dari hal itu kita ingin ciptakan produk pembalut yang biodegradable, baik dari penyerapnya maupun dari lapisan waterproof. Jadi, produk kita, singkatnya, mengubah pembalut yang banyak plastik atau dari bahan kimia diubah dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan,” demikian Wanda menjelaskan. Shanti juga menambahkan, lapisan waterproof-nya pun memakai bahan-bahan yang bisa terurai secara alami, misalnya recycled paper.
Berdasarkan survei target pasar yang telah dilakukan oleh tim, Pertiwi sendiri sudah ditargetkan untuk ditujukan kepada pihak-pihak yang telah memiliki kesadaran terhadap lingkungan. Dengan demikian, biaya yang diperlukan untuk menggunakan pembalut Pertiwi lebih daripada pembalut-pembalut lainnya yang telah beredar di pasaran pada saat ini. Namun, tentunya ada value lebih yang bisa didapatkan oleh pembeli Pertiwi. “Memang, kalau misal dibandingkan dengan harga (pembalut) yang nonorganik, agak jauh. Akan tetapi, kami masih mematok harga yang masih normal (terjangkau)… fokus kami di sini adalah kualitas dan kuantitasnya selaras… ada value yang ingin kita jual. Dengan kalian (pembeli) menggunakan ini (Pertiwi), tanpa kalian sadar, (kalian) sudah mengurangi beban sampah di Bumi kita,” tutur Wanda. Selain itu, Wanda juga menambahkan bahwa pemakaian bahan langsung dari alam, pengolahan bahannya, dan pembuatan alat-alatnya yang memang dibuat secara mandiri menjadi alasan mengapa harga Pertiwi lebih tinggi dibandingkan harga pembalut-pembalut di pasaran.
Walau demikian, tim Pertiwi yakin produk Pertiwi berhasil untuk dikomersialkan karena orang yang sudah mulai paham akan pentingnya menggunakan produk ramah lingkungan sudah lebih banyak daripada sebelumnya. Hal ini jugalah yang menjadi sumber semangat bagi tim Pertiwi untuk menyelesaikan proses pembuatan produk Pertiwi ini secepat mungkin.
DARI KOST SAMPAI JERMAN

Hasil manis yang didapat pada Falling Walls Lab Indonesia 2022 tak terlepas dari proses yang ditekuni, bahkan dari tahun sebelumnya ketika ide untuk membuat pembalut ramah lingkungan mulai tercetus oleh Shanti dan Difa mengobrol tentang keresahan mereka tentang sampah-sampah yang masih belum memakai bahan ramah lingkungan, seperti pembalut yang mengandung plastik dan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan. Dari pencetusan ide, ide tersebut dikembangkan melalui keikutsertaan di beberapa kompetisi—salah satunya “Bandung Startup Pitching Day”. Namun, Shanti juga menambahkan, bahwa dari kompetisi-kompetisi tersebut, mereka belajar untuk membuat proposal dan mendapatkan kontak dari investor. Dari situ, mereka mengetahui betul bahwa ide mereka benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, mereka tetap menemui beberapa tantangan yang tak mudah diselesaikan.
Wanda, sebagai bagian RnD tim Pertiwi, perlu mulai dari nol untuk menjadikan tanaman—yang akan menjadi bahan organik pembalut Pertiwi—sebagai kapas yang baik sebagai absorbent layer pembalut Pertiwi. Apalagi, pandemi menghalanginya untuk mendapatkan pengalaman melakukan praktikum secara langsung di laboratorium sehingga ia perlu membaca puluhan jurnal untuk mencari tahu langkah-langkah yang perlu ia lakukan untuk melakukan praktikum secara mandiri di kost karena kelas kuliah praktikum, menurutnya, tidak cukup menjadi satu-satunya bekal untuk mengembangkan produk ini. “Aku coba nyari banyak banget jurnal, kayak, 30-an jurnal ada. Aku baca satu-satu, aku kelompokin, dan lain-lain. Terus sampe akhirnya… mekanisme lab yang nguras hati, tenaga, dan pikiran,” tutur Wanda. Bahkan, Wanda perlu untuk melakukan riset dan praktikum—sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Alhasil, ia perlu merasakan perkataan yang tidak mengenakkan dari orang lain, memecahkan alat-alat lab, dan sebagainya. Namun, justru semangat belajarnyanya makin bergebu-gebu.
Satu tahun setelahnya, ketika telah mengambil banyak sampel, mengalami berbagai kegagalan, dan menghasilkan hasil yang kaku serta tak putih, didapatlah hasil yang seputih dan selembut kapas—hasil yang sudah diharap-harapkan setahun lamanya. Wanda berkata, ketika ia melakukan lab meeting bersama dengan dosen pembimbingnya dan menyerahkan hasil tersebut kepadanya, jawaban pertama dosennya adalah, “Wanda, kamu pasti seneng banget ya produk kamu jadi putih?” Wanda pun menambahkan, bahwa Difa, Shanti, dan Fathya pun selalu mendukungnya sehingga hasil ini bisa didapatkan. Hasil inilah yang mampu membawa tim Pertiwi, yang diwakili oleh Difa, sampai di Berlin, Jerman pada tanggal 7-9 November sebagai perwakilan Indonesia di ajang Global Final Falling Walls Lab 2022.
“SETIDAKNYA PERTIWI, SUDAH SEDEKAT ITU DENGAN MIMPINYA.”
Wawancara pun hampir berakhir, dan setiap anggota tim Pertiwi memberikan closing statement untuk para pembaca artikel ini. Difa berpesan kepada para pembaca bahwa, keberuntungan akan datang bila persiapan telah dilakukan untuk menyambut kesempatan yang akan datang. “Kalau kita siap dan ada kesempatan, beruntung datang dari situ,” tuturnya. Selain itu, Wanda juga mengatakan, bahwa kesabaran, proses, dan kegagalan merupakan teman kita untuk mencapai keberhasilan. “Gak mungkin kalian berhasil tanpa (mengalami) kegagalan. Itu kayak suatu hal yang sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi,” demikian kata Wanda. Tak hanya itu, Shanti juga berpesan untuk tidak takut terhadap kegagalan. “Ibaratnya kalian sudah memimpikan hal itu pun sudah sangat bagus,” jawab Shanti. Sebelum mereka menunggu pengumuman pemenang Falling Walls Lab 2022 Indonesia di Tangerang, Difa berkata kepada teman-temannya, “Setidaknya Pertiwi, sudah sedekat itu dengan mimpinya.” Pada akhirnya, mimpi mereka terwujud.
0 Comments